Freitag, 13. Februar 2015

BUKAN PELUKAN IBU


„lagu ini saya persembahkan untuk seorang wanita  yang telah berjasa besar dalam hidup saya, dia adalah IBU“

 sambil berucap penuh kehangatan lelaki berlesung pipi itu meletakkan kedua telapak tangannya di dada. Diiringi dengan tepuk tangan meriah para penonton, Ia mulai mengalungkan gitarnya.

Aku tak menyangka, lelaki yang kutemui saat solat dhuha tadi adalah dia. Seorang pria berparas tampan yang saat ini ada diatas panggung utama. aku masih tak menyangka jika dia adalah salah satu pengisi acaranya. Perlahan ia mulai mengawali penampilan. Begitu berkharisma menguasai seisi ruangan. Nyanyian, petikan dan semua gerakan seakan mengarah pada satu tujuan. Tak terlihat namun begitu jelas dirasakan.

aku terdiam di bangku penonton, memperhatikan tatapan matanya yang penuh isi, petikan gitarnya yang penuh arti, dan bahasa tubuhnya yang begitu menjiwai. Tanpa terasa air mata ini pun jatuh membasahi pipi.

Betapa besar makna yang mengalir dari lagu itu. aku bisa merasakan setiap bait yang ia ucapkan merupakan suara hati sebuah kerinduan. Jerit hati untuk seorang ibu. Doa dan harapan begitu jelas terpancar dari kedua bola matanya. Aku hanya bisa diam seribu bahasa dengan air mata yang mengalir begitu deras. Kali ini tidak hanya membasahi pipiku, namun juga hijabku.

Petikan terakhir dari gitarnya pun menandakan bahwa penampilannya telah berakhir. Aku bergegas keluar dari aula gedung panti. Berjalan secepat yang bisa kulakukan untuk menghilang dari keramaian. Entahlah aku tidak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarku. Yang kulakukan hanya bisa menunduk dan berharap tak ada yang menyapaku.

Hampir selangkah lagi kakiku keluar ruangan, tiba-tiba seorang laki-laki menarik pergelangan tanganku begitu kuat, Dengan nafas yang terengah-engah dia memandangku.

 „APAAAA??? lelaki yang ada diatas panggung tadi??? kenapa dia mengejarku??? kenapa dia menggenggam tanganku??? Ada apa dengan diriku???“, ribuan pertanyaan menjerit dalam benakku.

Astaghfirullah.. Tanpa berfikir panjang aku pun menghentakkan tanganku dari genggamannya dan kualihkan pandanganku darinya.

„maafkan aku... tapi kenapa kamu tidak berhenti saat aku memanggilmu?, sedari tadi aku berlari menuju kearahmu, menyusulmu..“. masih dengan nafas yang sedikit terengah-engah ia berusaha mengatur kata-katanya. Aku hanya diam dan tetap menundukkan pandanganku darinya.

„apa ini punyamu?“ aku melihat dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aku pun menatapnya dengan penuh keheranan. „mengapa gelang yang biasanya kupakai itu bisa ada di tangannya?“. Aku ingin sekali berteriak marah akan sikapnya. Tapi aku tak bisa. aku takut.

„apa ini punyamu?!! Apa gelang ini punyamu?!!“
kali ini aku melihat wajahnya yang begitu emosional kepadaku..
dengan dua kali anggukan perlahan, aku pun mengiyakan pertanyaannya.
aku pasrah dan mencoba berfikir positif jika ia menemukan gelangku dimusola.
„mungkin terjatuh saat aku selesai solat dhuha tadi“ fikir positifku dalam hati.

„HUMAIRAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!“ lelaki berkacamata di hadapanku tak kuasa menahan air matanya dan memelukku.

aku tak tahan lagi. Ini sudah saatnya aku untuk marah. Aku tak peduli apa yang nantinya ada di kepala laki-laki itu.  meski aku mengaguminya, tapi ia tidak menghargaiku sedikitpun sebagai seorang wanita. Aku tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Jangankan berpegangan tangan, berbicara hal tak perlu dengan yang bukan mahrom pun aku takut melakukannya. Aku takut Allah melihatnya. Aku takut bila kezaliman dan kelalaian ku di dunia ini, mendatangkan siksa untuk ibuku nantinya.
„Yaa Allah ampunii aku.. jangan engkau siksa ibu yang telah mengorbankan nyawa-nya untuk kelahiranku.. maafkanlah kelalaianku, maafkan segala khilafku, terangilah kubur ibuku. Sesungguhnya engkaulah yang menguasai segala isi hati“

seluruh keberanian aku kumpulkan dan tangisan kekecewaan pun mengiringi disetiap perkataan. Isyarat tanganpun aku tambahkan agar ia memahami apa yang kuutarakan.

„aku memang tak bisa mendengar! aku juga tak bisa berbicara normal seperti kamu. Tapi kenapa kamu tak menghargaiku?! Kenapa kamu memelukku?!!“

terlihat wajahnya begitu kaget saat mendengarku berbicara. Tapi inilah aku. gadis tuna rungu yang harus siap dengan segala keterbatasan dan kelebihanku.

Lelaki itu menatapku lekat-lekat dengan tatapan nanar berkaca-kaca. Kali ini ia mengucapkan sesuatu begitu jelas. Vocal yang disampaikan pun lebih mudah dipahami. Dia meletakkan kedua tangannya di pundakku. Dan ia berkata,

„aku memelukmu, karena kamu adalah adik kandungku. 18 tahun aku rindu padamu. Setelah ayah meninggal dengan obat-obatannya, aku baru bisa kembali ke tanah air menyusulmu, mencarimu, menjemputmu. Dan saat ini kamulah satu satunya harta berharga yang abang miliki. Abang kangen kamu Humaira. Abang sayang kamu. ini gelang ibu kita yang dulu abang letakkan di kereta bayimu. ini nama ibu kita ra!! abang hanya ingin kita bisa bersatu disurga-Nya kelak. abadi dan tak terpisahkan.“

pelukkan hangat kembali hadir dalam hidupku. Walau bukan dari ibuku, tapi cukuplah ia sebagai abangku.


Tanah air negeri yang bermartabat
Akhlak mulia cerminan harapan
Fiksi pertama semoga ada manfaat
Kritik saran tuk perbaiki dihadapan

Guten Morgen Deutschland und Guten Tag Indonesien
07:30 CET
liebe Grüße,

@rizkachab

1 Kommentar: