„lagu
ini saya persembahkan untuk seorang wanita yang telah berjasa besar dalam hidup saya, dia
adalah IBU“
sambil berucap penuh kehangatan lelaki
berlesung pipi itu meletakkan kedua telapak tangannya di dada. Diiringi dengan
tepuk tangan meriah para penonton, Ia mulai mengalungkan gitarnya.
Aku
tak menyangka, lelaki yang kutemui saat solat dhuha tadi adalah dia. Seorang
pria berparas tampan yang saat ini ada diatas panggung utama. aku masih tak
menyangka jika dia adalah salah satu pengisi acaranya. Perlahan ia mulai
mengawali penampilan. Begitu berkharisma menguasai seisi ruangan. Nyanyian,
petikan dan semua gerakan seakan mengarah pada satu tujuan. Tak terlihat namun
begitu jelas dirasakan.
aku
terdiam di bangku penonton, memperhatikan tatapan matanya yang penuh isi,
petikan gitarnya yang penuh arti, dan bahasa tubuhnya yang begitu menjiwai.
Tanpa terasa air mata ini pun jatuh membasahi pipi.
Betapa
besar makna yang mengalir dari lagu itu. aku bisa merasakan setiap bait yang ia
ucapkan merupakan suara hati sebuah kerinduan. Jerit hati untuk seorang ibu. Doa
dan harapan begitu jelas terpancar dari kedua bola matanya. Aku hanya bisa diam
seribu bahasa dengan air mata yang mengalir begitu deras. Kali ini tidak hanya
membasahi pipiku, namun juga hijabku.
Petikan
terakhir dari gitarnya pun menandakan bahwa penampilannya telah berakhir. Aku
bergegas keluar dari aula gedung panti. Berjalan secepat yang bisa kulakukan
untuk menghilang dari keramaian. Entahlah aku tidak peduli dengan tatapan
orang-orang disekitarku. Yang kulakukan hanya bisa menunduk dan berharap tak
ada yang menyapaku.
Hampir selangkah lagi kakiku keluar ruangan, tiba-tiba seorang laki-laki menarik pergelangan tanganku begitu kuat, Dengan nafas yang terengah-engah dia memandangku.
„APAAAA??? lelaki yang ada diatas panggung tadi??? kenapa dia mengejarku??? kenapa dia menggenggam tanganku??? Ada apa dengan diriku???“, ribuan pertanyaan menjerit dalam benakku.
Astaghfirullah.. Tanpa berfikir panjang aku pun menghentakkan tanganku dari genggamannya dan kualihkan pandanganku darinya.
„maafkan
aku... tapi kenapa kamu tidak berhenti saat aku memanggilmu?, sedari tadi aku
berlari menuju kearahmu, menyusulmu..“. masih dengan nafas yang sedikit
terengah-engah ia berusaha mengatur kata-katanya. Aku hanya diam dan tetap
menundukkan pandanganku darinya.
„apa ini punyamu?“ aku melihat dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aku pun menatapnya dengan penuh keheranan. „mengapa gelang yang biasanya kupakai itu bisa ada di tangannya?“. Aku ingin sekali berteriak marah akan sikapnya. Tapi aku tak bisa. aku takut.
„apa ini punyamu?“ aku melihat dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aku pun menatapnya dengan penuh keheranan. „mengapa gelang yang biasanya kupakai itu bisa ada di tangannya?“. Aku ingin sekali berteriak marah akan sikapnya. Tapi aku tak bisa. aku takut.
„apa
ini punyamu?!! Apa gelang ini punyamu?!!“
kali
ini aku melihat wajahnya yang begitu emosional kepadaku..
dengan
dua kali anggukan perlahan, aku pun mengiyakan pertanyaannya.
aku pasrah dan mencoba berfikir positif jika ia menemukan
gelangku dimusola.
„mungkin terjatuh saat aku selesai solat dhuha tadi“ fikir
positifku dalam hati.
„HUMAIRAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!“ lelaki berkacamata di hadapanku tak kuasa menahan air matanya dan memelukku.
„HUMAIRAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!“ lelaki berkacamata di hadapanku tak kuasa menahan air matanya dan memelukku.
aku
tak tahan lagi. Ini sudah saatnya aku untuk marah. Aku tak peduli apa yang
nantinya ada di kepala laki-laki itu. meski
aku mengaguminya, tapi ia tidak menghargaiku sedikitpun sebagai seorang wanita.
Aku tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Jangankan berpegangan
tangan, berbicara hal tak perlu dengan yang bukan mahrom pun aku takut
melakukannya. Aku takut Allah melihatnya. Aku takut bila kezaliman dan
kelalaian ku di dunia ini, mendatangkan siksa untuk ibuku nantinya.
„Yaa
Allah ampunii aku.. jangan engkau siksa ibu yang telah mengorbankan nyawa-nya
untuk kelahiranku.. maafkanlah kelalaianku, maafkan segala khilafku, terangilah kubur
ibuku. Sesungguhnya engkaulah yang menguasai segala isi hati“
seluruh
keberanian aku kumpulkan dan tangisan kekecewaan pun mengiringi disetiap
perkataan. Isyarat tanganpun aku tambahkan agar ia memahami apa yang
kuutarakan.
„aku
memang tak bisa mendengar! aku juga tak bisa berbicara normal seperti kamu.
Tapi kenapa kamu tak menghargaiku?! Kenapa kamu memelukku?!!“
terlihat
wajahnya begitu kaget saat mendengarku berbicara. Tapi inilah aku. gadis tuna
rungu yang harus siap dengan segala keterbatasan dan kelebihanku.
Lelaki
itu menatapku lekat-lekat dengan tatapan nanar berkaca-kaca. Kali ini ia mengucapkan
sesuatu begitu jelas. Vocal yang disampaikan pun lebih mudah dipahami. Dia meletakkan
kedua tangannya di pundakku. Dan ia berkata,
„aku
memelukmu, karena kamu adalah adik kandungku. 18 tahun aku rindu padamu. Setelah
ayah meninggal dengan obat-obatannya, aku baru bisa kembali ke tanah air
menyusulmu, mencarimu, menjemputmu. Dan saat ini kamulah satu satunya harta
berharga yang abang miliki. Abang kangen kamu Humaira. Abang sayang kamu. ini gelang ibu kita yang dulu abang letakkan di kereta bayimu. ini nama ibu kita ra!! abang hanya ingin kita bisa bersatu disurga-Nya kelak. abadi dan tak terpisahkan.“
pelukkan
hangat kembali hadir dalam hidupku. Walau bukan dari ibuku, tapi cukuplah ia
sebagai abangku.
Tanah air negeri
yang bermartabat
Akhlak mulia
cerminan harapan
Fiksi pertama
semoga ada manfaat
Kritik saran tuk perbaiki
dihadapan
Guten Morgen
Deutschland und Guten Tag Indonesien
07:30 CET
liebe Grüße,
@rizkachab
Luke and Leia, much?
AntwortenLöschen